fix bar
fix bar
fix bar
fix bar
fix bar
fix bar

Blog Details

image

Menumbuhkan Disiplin Positif Melalui Segitiga Restitusi

  • SMP ST IGNASIUS
  • 12-06-2024

Salah satu indikator yang menunjukkan karakter siswa adalah adanya perilaku disiplin yang ditunjukkan dari siswa tersebut. Disiplin merupakan suatu perilaku yang menunjukkan kepatuhan dari peraturan yang telah disepakati oleh semua warga sekokah. Namun seringkali disiplin dikaitkan dengan sikap kepatuhan siswa dalam bertindak. Jika tidak menerapkan disiplin di sekolah maka akan muncul “hukuman” dan “konsekuensi”, dan jika siswa tersebut melaksanakan perilaku yang sesuai dengan kesepakatan maka aka nada “penghargaan”. Semua guru dan orang tua menginginkan anaknya menjadi insan yang disiplin. Dengan siswa memiliki disiplin maka akan terdapat keteraturan dalam menjalankan kehidupannya dan tertib di dalam lingkungannya. Namun disiplin yang bagaimanakah yang dapat menunjukkan budaya positif yang kita citacitakan di sekolah-sekolah kita?

Menurut Diane Gossen dalam Restructuring School Discipline, 2001, disiplin yang berasal dari bahasa latin yaitu diciplina yang berarti ‘belajar’, yang bermakna mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai. Selanjutnya Diane Gossen (1998) mengemukakan bahwa dengan mengaitkan nilai-nilai kebajikan yang diyakini seseorang maka motivasi intrinsiknya akan terbangun. Disiplin mempelajari bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai agar tercapai tujuan mulia yang diinginkan. Pada dasarnya setiap manusia ketika berperilaku memiliki motivasi. Dalam disiplin positif motivasi yang diharapkan adalah motivasi intrinsik. Motivasi Dr. William Glasser pada Teori Kontrol (1984), menyatakan bahwa setiap perbuatan memiliki suatu tujuan. Ada tiga motivasi perilaku manusia, yaitu  untuk menghindari ketidak nyamanan atau hukuman (motivasi eksternal), untuk mendapatkan imbalan dari orang lain/institusi (motivasi eksternal dan Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai- nilai yang mereka percaya (motivasi internal).

Disiplin positif diharapkan mampu menumbuhkan motivasi intrinsik pada siswa dalam setiap perilakunya. Ketika anak bertindak dan berperilaku dia memiliki motivasi atau dorongan bahwa dia melakukannya bukan karena hadiah ataupun hukuman tetapi karena dia memiliki nilai-nilai atau keyakinan yang dia percayai sehingga anak menghargai dirinya sendiri. Inilah tujuan dari disiplin positif yaitu menanamkan nilai-nilai kebajikan dalam diri siswa sehingga selamat dan bahagialah dia dalam perjalanan hidupnya. Dalam pendidikan nasional kita memiliki nilai-nilai kebajikan yang terdapat dalam Profil Pelajar Pancasila, yakni Beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, Berkebhinekaan global, Bergotong royong, Mandiri, Bernalar kritis dan Kreatif. Selain itu setiap sekolah juga memilki nilai-nilai keutamaan. Dalam hal ini peran guru sangat dituntut agar anak memiliki nilai-nilai kebajikan (virtues).

 

Guru sangat berperan dalam menumbuhkan nilai-nilai kebajikan dalam diri siswa. Hal ini tentu tidaklah mudah, bayangkan jika satu kelas ada tiga puluh siswa yang memiliki kodrat alam lingkungan yang berbeda harus dituntun agar memiliki nilai-nilai kebajikan tersebut. Dalam hal inilah guru perlu strategi dan pendekatan-pendekatan untuk mewujudkan displin positif tersebut. Guru harus mampu menanamkan self improvement kepada siswa. Menurut Mark Manson self improvement yakni “memprioritaskan nilai-nilai yang lebih baik, memilih hal-hal yang lebih baik untuk dipedulikan. Karena ketika Anda peduli terhadap hal-hal yang lebih baik, Anda akan mendapat hal yang lebih baik dalam menjalani kehidupan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan secara lahir batin dan memunculkan kebahagiaan sebagai efek sampingnya”

 

Dalam menerapkan disiplin positif setiap guru harus memahami kebutuhan dasar setiap siswa. Karena setiap tindakan yang dilakukan oleh anak baik itu benar maupun salah memiliki kebutuhan yang ingin dia penuhi. Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat satu persatu kelima kebutuhan dasar ini. Kebutuhan dasar manusia dapat diartikan sebagai unsur-unsur yang diperlukan manusia untuk mempertahankan keseimbangan fisiologis dan psikologisnya. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan penguasaan (power). Pemenuhan kebutuhan dasar akan sangat memengaruhi tindakan dan perilaku individu. Dalam dunia pendidikan, konsep kebutuhan dasar manusia dapat digunakan untuk menyusun pembelajaran yang berpihak pada murid hingga menganalisis penyebab dari pelanggaran atau perbuatan tidak terpuji.

 

Ketika anak melakukan tindakan yang melupakan keyakinan kelasnya sering bapak/ibu guru menerapkan posisi diri sebagai pemberi hukuman dan konsekuensi dengan harapan anak tersebut tidak mengulangi perbuatannya yang salah. Nah, dalam hal inilah kemudian siswa akan bertindak dengan motivasi ekstrinsik, karena mereka akan takut dihukum atau diberi konsekuensi. Padahal sadar atau tidak bahwa selama manusia bernafas maka selama itu akan ada kemungkinan untuk berbuat salah. Namun apakah hukuman dan konsekuensi lebih baik? Jawabannya adalah tidak karena kedua hal itu akan menenggelamkan motivasi intrinsik anak dalam berperilaku dan memunuculkan motivasi eksternalnya. Tentu ini akan sulit untuk mewujudkan disiplin positif.

Hal yang dilakukan guru adalah pertam-tama guru harus menentukan posisi kontrolnya dalam menerapkan disiplin positif. Sering kita sendiri masih sering keliru dalam memaknai teori kontrol secara utuh. Ilusi guru bahwa guru dapat mengontrol murid, bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter, bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat, bahwa semua orang dewasa memiliki hak untuk memaksa masih tetap dijalankan sebelum mengambil tindakan pendekatan yang lebih humanis terhadap kesalahan murid. aradigma kita dalam menilai perilaku manusia masih berorientasi pada konsep-konsep Stimulus Respon atau lebih dikenal dengan Stimulus Organism Respon (SOR). Stimulus respon yang selama ini kita implementasikan dalam perilaku lebih memaknai bahwa kita bisa mengontrol orang lain, kita mencoba orang lain agar berpandangan sama dengan kita, perilaku buruk dilihat sebagai kesalahan pemaksaan pada saat bujukan gagal, model berfikir menang kalah.  Paradigma-paradigma seperti inilah yang ingin dirubah dalam konsep Teori kontrol (teori pilihan) William Glasser. Konsep-konsep teori kontrol itu meliputi: Hanya diri kita sendiri yang dapat kita control. Berusaha memahami pandangan orang lain tentang dunia. Setiap perilaku pasti memiliki tujuan. Kolaborasi dan konsesnsus menciptakan pilihan-pilihan baru. Model berfikir menang-menang.

Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998) mengemukakan bahwa guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas mereka selama ini. Apakah telah efektif, apakah berpusat, memerdekakan, dan memandirikan murid, bagaimana dan mengapa? Melalui serangkaian riset dan berdasarkan pada teori Kontrol Dr. William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau dan Manajer. Kita akan bahas posisi Manajer, karena dari semua posisi yang ada, posisi manajerlah yang dapat mewujudkan disiplin positif. Posisi Manajer, adalah posisi di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan muridmurid kita menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya sendiri. Di manajer, murid diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada. Siswa diajak untuk bertanggung jawab. Mark Manson dalam bukunya yang berjudul “Bersikap Masa Bodo” mengatakan bahwa bertanggung jawab atas permasalahan yang ada jauh lebih penting, karena dari sanalah pembelajaran yang sesungguhnya berasal.

Menerapkan disiplin positif pada siswa sebagai kontrol Manajer guru dapat melakukan pendekatan restitusi. Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi juga adalah proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).

Ada 6 landasan filosofi restitusi yaitu,  kesalahan adalah hal yang normal karena manusia berbuat salah setiap harinya. Setiap manusia tahu jika berbuat salah. Semakin disalahkan dan dikritik membuat dia jadi tidak percaya diri dan berfokus pada kesalahan. Proses dari restitusi menguatkan setiap individu karena diri sendirilah yang menyelesaikan dan memperbaiki kesalahan. Proses restitusi membuat banyak kesempatan bagi setiap murid untuk merasakan “sukses” pertamanya, merasa dihargai, dan lebih terbuka untuk percaya pada diri sendiri juga orang lain. Individu yang tumbuh dalam restitusi menjadi lebih mengerti bahwa kesalahan adalah hal yang biasa sehingga dia pun akan melakukan proses restitusi pada orang sekitarnya.

Dalam menjalankan pendekatan restitusi, ada tiga sisi yang dikenal dengan segitiga resitusi, yaitu Menstabilkan Identitas (Stabilize the Identity). Anak yang melakukan kesalahan biasanya cenderung membela diri atas perbuatannya. Mereka tidak rela semerta-merta disalahkan sekalipun tindakan yang mereka lakukan salah. Sesuai konsep berfikir cepat (fast thinking) bahwa manusia cenderung merespon dengan otak mamalia (berhubungan dengan perasaan) dari pada menggunakan otak luhurnya. Hal ini yang dinyatakan secara implisit dalam praktik penggunaan 4 jari tangan kanan sebagai fungsi otak mamalia dan ibu jari sebagai otak luhur. Otak luhur (slow thingking) tidak bisa digunakan bila seseorang telah dikuasai oleh otak mamalia (perasaan). Untuk itu, sebagai pendidik kita menghindari kalimat-kalimat yang dapat memicu peserta didik kehilangan kontrol terhadap cara berfikirnya, dan memilih diksi kalimat yang bisa merefleksikan dirinya agar lebih terbuka. Validasi Tindakan yang Salah (Validate the Misbeh) Sisi ini bertujuan untuk mengenali tujuan dari tindakan atau perilaku peserta didik. Karena kita mengetahui bahwa setiap tindakan pasti memiliki tujuan. Dengan memahami tujuan dari tindakan yang ia lakukan, maka kita dengan mudah mengidentifikasi ke arah mana masalah bermuara. Menanyakan Keyakinan (Seek the Belief) Setelah memahami ke arah mana akar masalah itu terbentuk maka kita dapat dengan mudah pula mengarahkan peserta didik akan nilai-nilai apa yang semestinya ia lakukan agar tidak terjadai keslahan-keslahan yang sama. Disni kita sekaligus berdiksusi tentang bagimana solusi agar kesalahan itu semestinya tidak terjadi. Pendidik menawarkan pilihan-pilihan pada peserta didik agar, mereka menemukan sendiri solusi yang paling tepat agar kesalahan itu tidak terulang lagi.

By: Gita Donda Feronika, S.Pd

CGP Angkatan 10

*Diambil dari berbagai sumber

Tinggalkan Komentar